Rumah Pasundan Yang Selaras Alam
Rumah Pasundan bagi masyarakat Sunda menerapkan berbagai filosofi utamanya untuk hidup berdampingan dengan alam.
Indonesia memiliki kekayaan khazanah budaya yang mencakup juga ke sektor desain hunian. Rumah gadang, joglo, rumah panggung, dan beberapa konsep hunian lainnya merupakan kekhasan khazanah itu yang hingga saat ini banyak diterapkan maupun diadopsi untuk penerapan bangunan modern.
Di Jawa Barat misalnya, arsitektur rumah Pasundan atau rumah tradisional masyarakat Jawa Barat telah mewakili hunian masyarakat Sunda yang agraris. Bangunan rumah menggunakan material alami seperti bambu, kayu, dan batu untuk menampilkan arsitektur tropis yang ramah lingkungan.
Rumah Pasundan dengan ciri utama saung bambu hingga saat ini belum banyak diungkap asal-usul maupun keistimewaannya. Beberapa arsitek maupun pakar telah mengupas beberapa konsep dari rumah Pasundan ini khususnya yang terkait latar belakang, konsep,filosofi, arsitektur, hingga potensi rumahnya.
Menurut Guru Besar Arsitektur Unika Parahyangan Purnama Salura, latar belakang sejarah dan budaya kehidupan masyarakat Sunda tentunya telah ikut memengaruhi bentuk bangunan yang bergaya tropis yang lahir dari tata kehidupan masyarakat dengan tipologi Saung Sunda sesuai fungsinya masing-masing.
“Arsitektur rumah Pasundan di Kampung Papandak, Garut, yang saat ini telah punah bisa dijadikan contoh betapa hunian masyarakat Sunda ini kaya filosofi untuk hidup berdampingan dengan alam. Sayangnya rumah-rumah yang menggunakan bahan alam di Kampung Papandak ini pernah terbakar pada masa penjajahan Belanda tahun 1926-1929,” ujarnya.
Di sisi lain, kekurangan masyarakat kita pada masa lalu tidak pernah mencatat bentuk atau arsitektur rumah. Catatan ini justru ada di museum di Negeri Belanda sehingga kita sulit mengaksesnya. Ini berbeda dengan catatan arsitektur Jawa yang terbilang lengkap, untuk rumah Pasundan riset harus dimulai dari catatan kuno yang diperoleh dari ahli antropologi dan filologi.
Dari naskah kuni ini diketahui kalau masyarakat Sunda (Buana Panca Tengah) merupakan masyarakat yang hidup dengan kesadaran dunia yang maha kuasa (Buana Nyuncung) dan alam sekitarnya (Buana Larang).
“Jadi konsep tempat tinggal masyarakat Sunda selalu dibarengi dengan konsep keseimbangan sehingga tempat tinggal orang Sunda itu ditempatkan sekaligus menempatkan diri,” jelasnya.
Keunikan lain arsitektur tradisional Sunda ini tidak kalah menarik dari arsitektur bangunan Joglo di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Bila dicermati dari penelusuran aristektur kekinian, beberapa karya arsitekturnya juga ada yang memanfaatkan falsafah arsitektur Pasundan.
Hal lain yang menarik, masyarakat Sunda paham tinggal di wilayah ring of fire atau kawasan gunung berapi aktif. Karena itu masyarakat Sunda menerapkan arsitektur yang tahan gempa dengan rumah-ruamh tidak disatukan dalam sistem sandi tapi sistem engsel sehingga mampu meredam guncangan akibat gempa.
Bentuk rumah Sunda Bihari juga dapat dibedakan dalam tiga kelompok besar yaitu: Galudra Mupuk, Julang Mapak, dan Saung Ranggon. Semua nama ini diambil dari nama burung di mana bentuk atap rumah dibuat menyerupai sayap burung.
“Arsitektur merupakan musik yang dibekukan. Saung Ranggon mewakili Ketuk Tilu atau Jaipongan, Julang Ngapak mewakili Kacapi Suling, sementara Galudra Mupuk mewakili Degung. Ini juga untuk menentukan siapa-siapa yang tinggal di rumah itu mulai pejabat pemerintahan hingga masyarakat umum, jadi kaya sekali filosofinya,” beber Purnama.