Filosofi Rumah Panggung Sulawesi
Kita memiliki kekayaan budaya dan filosofi termasuk untuk membangun rumah adat pada masa lalu.
Indonesia memiliki keragaman budaya termasuk local wisdom untuk desain hunian yang sarat akan filosofi kehidupan. Arsitektur rumah panggung Sulawesi misalnya, memiliki nilai budaya yang tinggi dan keunikan yang menarik untuk diulas. Selain itu arsitektur rumah tradisional Sulawesi juga tampil dengan balutan seni bangunan dan filosofi adat yang sarat makna.
Rumah panggung menjadi ciri khas bangunan di Sulawesi seperti juga banyak diterapkan di berbagai wilayah Indonesia lainnya yang mengusung konsep rumah panggung. Kalangan arsitek juga tidak pernah lelah untuk mengulas berbagai khazanah kekayaan arsitektur rumah-rumah di berbagai daerah termasuk rumah panggung Sulawesi. Menurut Ketua Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Sulawesi Selatan Fahmyddin, IAI sebagai institusi arsitek profesional selalu berharap agar rumah panggung tradisional Sulawesi akan terus dilestarikan sebagai bukti sejarah kalau orang Sulawesi telah lama mengenal budaya berarsitektur.
“Rumah Toraja merupakan bagian dari banyak arsitektur rumah panggung di Sulawesi dan kita khususnya kalangan arsitek perlu menghargai karya adiluhung nenek moyang seperti ini. Hal ini juga harus terus dipelejari oleh para aristek muda yang akan menjadi penerus dan semoga kekayaan arsitektur ini bisa terus jadi salah satu penopang potensi pariwisata di daerah,” katanya. Beberapa keunikan arsitektur rumah tradisional Sulawesi dipengaruhi oleh empat faktor yaitu, filosofi yang terkait dengan alam atas, alam tengah, dan alam bawah. Geografis yang terkait kontur dan lahan, kebutuhan baik sosial, ekonomi, maupun ternak, dan peperangan antar sub suku.
Di Sulawesi Selatan titik berat rumah tradisional ada pada Sa’dan Toraja yang tersebar di kawasan Tana Toraja dan Toraja Utara, Toraja Mamasa, dan Toraja Enrekang. Rumah tradisional Toraja juga disebut sebagai Tongkonan yang memiliki hukum adat, pemerintahan adat, dan sistem sosial kekeluargaan. Tongkonan juga selalu dibangun berpasangan dengan alang atau lumbung padi. Sebuah tongkonan dikatakan paripurna bila berada dekat dengan hutan, kebun, dan sawah adat selain memiliki kuburan adat sekaligus untuk menjadi tempat upacara adat dan menjadi benteng pertahanan.
Sementara itu rumah tradisional Toraja di Mamasa, Sulawesi Barat disebut Banua. Umumnya Banua memiliki atap tidak simetris di mana bagian depan dibuat memanjang dengan ditopang beberapa tiang kayu. Ada beberapa jenis Banua seperti Banua Sura atau rumah yang diukir. Banua ini dimiliki oleh bangsawan tinggi (tana bulawan) yang sekaligus memegang adat dalam suatu kampung. Selain itu ada pula Banua Bolong (rumah hitam) yang diperuntukan bagi kesatria dan bangsawan. Ada pula Banua Rapa’ yaitu rumah dengan warna kayu alami untuk rakyat biasa.
Beralih ke rumah suku Bugis Makassar, strata sosial terlihat dari jumlah susun atap. Suku Bugis menyebutnya sebagai Timpa Laja’ sementara Makassar menyebutnya Timba’ Sela. Atap rumah lima susun milik raja yang berkuasa, atap empat susun untuk raja yang merangkap panglima perang, atap tiga susun untuk raja yang tidak memegang kekuasan, atap dua susun untuk keturunan raja, sedangkan atap satu susun untuk rakyat biasa. “Keunikan lain, ukuran rumah Bugis Makassar dibuat secara antropometris alias ukuran tubuh sang pemilik: suami dan istri. Misalnya, tinggi kolong rumah panggung sama dengan tinggi suami (berdiri) ditambah tinggi suami (duduk) hingga garis mata. Jadi ada banyak filosofi maupun falsafah yang sangat menarik,” jelas Fahmyddin.

